Tuesday, February 20, 2007

di-KRITIK

Kritik, adalah kata yg sering gw dengar.
Tp dikritik adalah hal yg gw harap gak bakal sering gw dengar.
Kenapa?
Karena ternyata gw gak pernah diajarain cara bersikap menghadapi sebuah kritikan. Mengkritik adalah hal yg mudah. Kita terbiasa mengkritik. Kita tahu bagaimana caranya mengkritik. Bahkan di kampus dulu, gw diajarin cara berkritik dlm ilmu arsitektur.
Tapi dikritik?
Dosen gw bahkan gak pernah terima kalo dikritik. Senior juga begitu. Orang tua atau siapapun yg lebih tua, gak pernah ngasih gue contoh bagaimana bersikap bila menghadapi sebuah kritikan selain marah. Gak pernah ada mata kuliah dikritik.
Jadi, gw gak tau gimana cara bersikap kalo gw lagi dikritik selain sakit hati or bete or nelangsa.
Gw cuma tau gmn cara bersikap kalo dipuji doang.
Gw rasa dipuji mah kagak usah diajarin lagi. Secara natural, semua manusia tau gimana reaksi yg benar kalo dipuji : pura-pura santai, pura-pura rendah hati padahal hidung nggak bisa ditahan kembang kempis saking gumbiranya.

Nah,
barusan gw baru baca komen buat novel gw dari Reenna. Dia kritik novel gw.
Jujur, pertama kali baca komenya gw cuma ngerasa 'deg' [gw sendiri gak bisa ngejelasin definisi kata itu selain... rasanya langsung nyampe ke ulu hati].
Entah kenapa, gw mutusin utk baca lagi komennya utk yg kedua kalinya. Sekali ini gw mulai ngerasa marah. Trus, kayak org addicted, gw gak bisa nahan diri utk baca lagi komennya. Kali ini rasa marah gw berganti jadi nelangsa.
Tapi, ada sesuatu di dalam kepala gw yg nyuruh gw baca komennya Reenna sekali lagi. Mungkin isi kepala gw emang beneran sedeng atau gw sebenarnya sedikit sakit jiwa. Tp gw harap gw gak kecanduan dikritik.
Tiba-tiba... BUM!
Dengan anehnya, sekali ini reaksi gw justru lebih santai. Kepala gw lebih dingin dan hati gw lebih adem. Spt gw bilang, mungkin gw emang beneran sedeng.
Tapi, dlm kesedengan gw, kata demi kata yg Reenna tulis utk novel gw bisa gw resapi. Seolah tiba-tiba Tuhan ngeganti isi tubuh gw sama isi tubuh org lain. Seolah, gw ngeliat kritikan Reenna lewat mata, kepala dan hati orang lain. Bukan gw, org yg nulis novel yg dikritik Reenna habis-habisan.

Kata Reenna, novel gw kosong. Rasanya kayak minum air putih, kosong tp bisa menghilangkan dahaga. Tp mslhnya, cerita gw gak kuat, karakter yg gw bangun gak kuat dan obrolannya kosong, kadang gak ada dasar atau alasan atau korelasi yg kuat dalam percakapan yg gw bangun. Joke-nya juga gak jelas dan terlalu sinis. Intinya, dia capek bgt baca novel gw. Dia lebih sanggup baca novel yg berat dan puitis drpd baca novel gw.
Hmmm,
sekarang bisa ngerti, kan, definisi kata 'deg' yg tadi gw buat?

Spt gw bilang, setelah membaca komennya Reenna utk yg keempat kalinya, gw bisa ngeliat sesuatu yg lain dalam kritikannya. Sebuah masukan, sebuah pecut dan sebuah kesadaran kalo Reenna salah ngambil novel.
Mungkin aja dia pikir gw adalah Ayu Utami.
Padahal, gw cuma penulis chicklit amatiran yg kebetulan mungkin punya rasa humor yg sedikit sinis.
Tapi intinya,
Reenna baru aja ngajarin gw sesuatu yg berharga.
DI-KRITIK.
Sebuah kritik dengan imbuhan di-
Reena ngajarin gw kalo :
sebuah kritik bukan berarti portal yg diturunkan. Sebuah kritik gak seharusnya bikin kita mundur. Sebuah kritik gak seharusnya bikin kita merasa rendah. Sebuah kritik gak seharusnya bikin kita berhenti. Sebuah kritik bukan berarti umbar permusuhan.
Sebuah kritik mungkin saja adalah sebuah kebaikan seseorang yg bisa menjadi kaca bagi kita agar kita menjadi 'sedikit' lebih baik dari sebelumnya.
Walaupun sebuah kritik akan terdengar lebih 'dalam' seandainya seseorang memahami apa yang kita buat sebelum dia mengkritik. Dengan kata lain, sebuah kritik menjadi perbandingan antara dua sudut pandang yg berada pada ketinggian yg sama.
Well,
apa yg dilihat burung yg sedang terbang dgn kita yg hanya bisa berdiri di atas tanah pasti berbeda, kan?


Sebuah kritik adalah ungkapan pikiran seseorang dari sebuah tempat pijak yg berbeda.
Dia bisa kita jadikan jendela untuk melihat sesuatu yang lain.
Dia bisa kita jadikan gundukan untuk melihat sesuatu yg sama dari sudut yang berbeda.
Atau, dia bisa kita biarkan berlalu begitu saja.


Anyway,
gw realize kalau ternyata satu-satunya cara utk membuat sebuah kritik terasa manis adalah dengan tidak menanggapinya sebagai sebuah genderang peperangan melainkan hanya sebuah perbedaan.
Well,
perbedaan itu indah, kan?
Kalo nggak ada perbedaan, dunia pasti sangat membosankan!
Bayangin aja kalo di dunia cuma ada satu jenis tontonan yg sama... sinetron!
Huaaah...., gw bisa mati berdiri!!
Eits,
Om Punjabi, jangan marah.
Ayo belajar dikritik kayak gw.

Anyway lagi,
thanks a lot Reenna..., elo bikin gw belajar sesuatu hari ini. ;)

12 comments:

Sitta said...

Saya memilih novel mbak karena memang itu yang saya butuhkan. Sudah bagus kok. Fyi, saya juga punya kritik untuk novelnya, tapi menurut saya ga perlu disampaikan. Karena menurut saya itu mungkin karena novel debutan, baru pertama, dan nanti saya yakin akan disadari oleh pengarangnya. Atau perlu disampein? Ya bolehlah dg catatan: by request ehehehe.

Trus kayanya saat kita beli novel, kita harus bisa memilih yang emang kita butuhkan, jangan asal ambil aja deh, harus bertanggung jawab dengan apa yang dipilih. Pas saya memilih untuk membawa novel mbak riri ke kasir toko buku, saya ga ngarepin dapet buku model karangan ayu utami atau djenar mahesa ayu atau pun herlinatiens. Dari jenis novel yang dikategorikan oleh penerbit (Kamar Cewek) nya pun bisa keliatan kan jenisnya gimana. So, kalo merasa salah beli buku, salah milih, salah belanja, mestinya jangan ‘nyalahin’ pengarangnya. Kritik pun juga kan ga harus pake kata2 yang bisa menyakiti hati orang lain? Saya punya beberapa novel yang saya ga selesaikan atau hanya saya baca sepintas, karena saya ga ngerasa diperkaya saat membacanya n ga adil kalo saya bilang pengarangnya ga bagus. Dan may be next time akan saya baca lagi.

Ada kalanya saya menanggapi kritik sebagai genderang perang, yaitu saat kritik yang diberikan sifatnya tidak penting atau tidak pada tempatnya. Lepas dari benar-tidaknya kritik itu. Darah muda saya (waduh!) brasa mendidih (apalagi lagi PMS nih :D) kalo dapet yang gituan. Tapi demi kebaikan peradaban umat manusia, sikap mbak meng-counter kritik itu memang dah ideal kok. Silakan baca buku: Menanggapi Perbedaan Pendapat secara Elegan terbitan Elex Media :D

And it’s a fool who said air putih itu kosong –water is life!!!!

Tapi sekali lagi, menghadapi kritik memang harus punya kebesaran n kerendahan hati. Dan yang ngritik juga mestinya punya cara yang baik dalam menyampaikannya.

v(^.^)v
~peace, love n respect~

Ratusya said...

mba ri, semua orang berhak kok mengemukakan pendapatnya tentang suatu hal. Dan yang perlu dicatat adalah ga semua orang akan berpikiran sama. kemaren dah di puja puji ma pembaca yang lain, jadi musti lapang dada juga kalo di kritik rada pedes. hehehe... kok jadi ngajarin?
well, kalo gue bilang novel mba bagus banget, mungkin karena gue suka alur ceritanya, idenya, endingnya sesuai dengan yang gue harapkan dan cara pemaparannya . karena gue sama sekali belom bisa menerbitkan buku seperti mba or pengarang2 yang lain, so gimana bisa gue bilang novel lu jelek? ya gue cuma bisa kagum dengan kebisaan mba merampungkan & menerbitkan novelmu itu...
keep the good work ya... jangan keil hati ya...

Ira Lathief said...

Ai Mba Riri...
Aku belum baca novelmu, tp kemarin sempet liat2 bukunya lagi di Gramed (makanya aku tau alamt blog mu ini :p)
well...aku selalu salut dgn org2 yg punya novel sendiri...gimanapun aku belum tentu bisa nulis novel ....maklumlah, aku jg baru belajar nulis! Tetep semangat N keep up the good work! Salam kenal dari seorang kuli tinta amatir

Rania said...

Halo Mbak Riri, nama saya Rania. Saya bukan seorang penulis, jadi maklum kalo comment saya rada kaku :P Saya cuma mau bilang, dari sekian banyak novel Indonesia yang pernah saya baca, novel Marriagable mbak adalah novel pertama yang menggerakkan saya untuk menyalakan komputer, ketik Riri Sardjono di google, menemukan blog ini, dan menulis comment. Kenapa? Karena saya sangat kagum dengan cara mbak menulis. Very honest, smart, and has a good sense of humor. Jokes2nya 'nendang' dan bisa bikin saya ketawa/tersenyum dan kemudian mengangguk2an kepala. Hm..mungkin juga karena karakter Flory ini somehow relates to myself dan kehidupan sehari-hari saya yang lumayan mirip. Banyak prinsip2 yang dipegang Flory juga saya pegang. Saya kagum dengan penulisan mbak yang very natural dan tidak terkesan dibuat-buat ato jaim. Kadang saya berpikir, seberapa jauh seseorang bisa mempertahankan jati dirinya, di tengah-tengah masyarakat kita yang dipenuhi norma, aturan, dan tata krama? Mungkin untuk beberapa orang, kata2 pilihan Mbak Riri terlalu sinis, tapi untuk saya masih terdengar wajar koq, jujur malah. Novel Mbak Riri menunjukkan keberanian Mbak untuk menjadi diri sendiri yang jarang bisa kita temukan dalam diri seseorang. Fyi, saya bukan tipe orang yang suka ngasih empty flattery atau berbasa-basi. I do think, though, that a beautiful work has to be rewarded =) Keep up the good work!

Salam kenal,
Rania.

ika stanie said...

tenang aja,mba..

musuh selalu bisa membuat kita menjadi lebih bersiaga,bukan??

so what??we've to prepared ourself (duhg,kaya gue syap aja buat dikritik,neh..)
heee,piss ah!

Sannya said...

mba riri, ditunggu ya novel keduanya :) sukses mba...

Anonymous said...

aku suka sama novelnya mba riri..dengan gaya tulisannya jg suka..ga terlalu berat, n buat aku mudah d cerna aja..heheh..

Anonymous said...

Marriagable, luv this novel.
Gaya ceritanya light, smart, and funny.
No mather what people say, i still luv this novel.
Novel ini tipe novel yang bisa bikin ketawa, kadang emang krn lucu, kadang cuma sekedar mentertawakan kebenaran yg terungkap secara implisit.
Ditunggu next novel(s) nya.
Salam kenal..!

Anonymous said...

Halo Mbak Riri, Novelnya bagus lohh!
Hehehe itu yg pertama mau saya bilang setelah berkomitmen mencari blog mbak abis saya selesaiin novelnya.
Novel pertama sudah bagus itu keren sekali, jgn putus asa sama yg kritikan, ambil aja masukan2 positifnya untuk bikin novel ke-2 yang lebih oke lg.

Saya notice dalam buku mbak itu satu hal : Tambah usia berarti tambah wawasan dan pengetahuan. And knowledge is power!

Buku mbak memberikan insight ttg pergumulan pernikahan yg saat ini di usia saya ga punya, alias belum dalam situasi itu.Dan hal itu membukakan mata

Saya juga mau jadi penulis dan saya cukup mentok karena saya merasa pengalaman hidup yg mau saya jadikan insiprasi novel masih kurang banyak, umum-umum saja...hhh

Terlepas dari perspektif novel mbak yg mmg agak sinis memandang hidup (but its ok, its ur way), sisanya bagus, bikin ketawa dan banyak poin penting ttg love life yg saya garis bawahi untuk saya renungkan hahaha (beneran!)

Apa mbak masih ngarsitek?

Siany said...

Riri, your writing is a little bit sarcastic for most people, but I love it.. ;)

art:love said...

heyy babe..
yr novel mmg besh..and cant believe yg i bleh faham kesemua maksud buku itu coz ada ayat2 indonesia yg i x faham..but i liked that book..
and FYI..ada part2 yg sama mcm i..so glak giler2..
k lahh riri..
gud luck for yr 2nd novel
muah3x (kayek barbie..hehe)

dhey said...

well, udah ada label genre-nya di cover kan?

judge a book by its cover then. hehehe..

yg saya liat: jangan bilang honda jazz itu jelek karena lo suka Land Rover, gitu kan mbak?